Mahasiswa FISIP Universitas Syiah Kuala (FH USK), Rahmat Fahlevi, meluncurkan buku dengan judul Mencari Tuhan-Tuhan Peradaban. Menurutnya, buku ini mengulas bagaimana setiap negara-negara besar di dunia memegang kendali peradaban secara bergilir dengan kekuatan capital, teritorial hingga ekspansi dengan perang.
“Di beberapa bab, penulis juga mengutarakan bagaimana energi membuat negara-negara di dunia terdependensi hingga merasionalkan perang atas dasar kebutuhan domestik dengan dalil demokratisasi,” jelas Rahmat.
Selain itu, hal yang paling destruktif dalam buku tersebut, penulis melakukan pendobrakan dan menciptakan keadaan skeptis pada hegemoni liberalisme terhadap dunia yang bersifat multidimensi mulai dari politik, ekonomi, budaya, yang mana aksentuasi yang terlihat Barat menciptakan kebenaran tunggal yang kemudian disebut sebagai homogenization of taste dan mendistorsi kebenaran alternatif.
“Liberalisme adalah ideologi yang hipokrit dan menciptakan delusi kebebasan. Yang mana pernyataan ini berangkat dari peristiwa bagaimana John locke yang awalnya memperjuangkan emansipasi manusia, tapi ia juga memelihara budak. Yang awalnya Locke menentang monarki absolut, di era kontemporer liberalisme juga menuju kepada konvergensi standar yang absolut serta kebablasan,” tuturnya.
Pada bab kedua, mengulas geliat ekonomi modern yang akrab dikenal dengan istilah pasar bebas, yang menuju kepada proses pemusatan kekayaan secara masif, sehingga ketimpangan kekayaan dan kegagalan distribusi kesejahteraan semakin menunjukkan disparitas yang tajam.
Penulis berpendapat bahwa era modern ini bukanlah sebuah pembebasan, melainkan hanya transformasi pengekangan dan penjajahan dengan cara baru yang terkesan legal dan formal.
Disini Rahmat fahlevi berusaha membongkar realitas tersebut dengan mengutip beberapa sumber poskolonial ternama. Ia berkesimpulan bahwa tidak ada bedanya penjajahan era kolonial dan era modern, semuanya adalah tautologi hegemoni dengan tatanan yang berbeda.
Buku tersebut, mengutip beberapa sumber ternama, seperti Noam chomsky, Gayatri Chakravorty, Frantz Fanon, Francis Fukuyama, Tamim Ansary, Domenico Losurdu, Frankfurt School hingga Indoprogress.
“Alasan memilih judul tersebut, term “Tuhan-Tuhan” maksudnya adalah penekanan pada negara-negara hegemoni peradaban, bukan untuk eksplanasi “Tuhan” dalam kajian teologi,” ungkap Rahmat.