Legalitas lahan sawit masih menjadi permasalahan utama yang harus dibenahi pada persawitan di Aceh. Hal ini mengemuka dalam Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan selama empat hari di Kabupaten Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Kota Subulussalam, dan Aceh Singkil dari tanggal 7-11 Agustus 2023.
FGD tersebut membahas mengenai regulasi bibit, Peremajaan Kelapa Sawit (PSR), deforestasi kawasan hutan lindung serta isu lingkungan.
Dalam FGD ini, Peneliti USK memaparkan hasil penelitian terbaru, yaitu berupa sidik jari sawit yang mampu menerangkan keterlacakan dari mana asal buah sawit tersebut diproduksi melalui gelombang spektrum yang dihasilkan oleh minyak sawit tersebut.
FGD ini merupakan serangkaian kegiatan dari penelitian yang diketuai oleh Prof. Dr. Ir. Ahmad Humam Hamid, M.A, dengan judul penelitian: Integrasi Sistem Deteksi Sidik Jari Berbasis Spasial Origin dengan Karakteristik Sosial Ekonomi Petani untuk Keberlanjutan Minyak Sawit Indonesia (I-SEURAMOE).
Penelitian itu, melibatkan dosen dari berbagai latar belakang keilmuan yaitu sosial ekonomi pertanian (Prof. Dr. Ir. Ahmad Humam Hamid, MA., Prof. Dr. Ir. Agussabti, M.Si, Dr. Agus Nugroho, M.Com, Dr. Ir. Fajri, M.Sc), spasial (M. Rusdi, SP, M.Si, Ph.D), kimia tanah (Dr. Ir. Muyasir, MP) dan kimia buah (Dr. Hesti Meilina, ST, M.Si). Dengan dana penelitian bersumber dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
FGD ini dibuka oleh sekretaris daerah di masing-masing kabupaten/kota atau yang mewakili. Peserta FGD berasal dari berbagai kalangan stakeholder yang terkait, yaitu Dinas Perkebunan, Dinas Pertanahan, Dinas Lingkungan Hidup, APKASINDO, kelompok tani/Gapoktan, koperasi pertanian, agen/pedagang, Perusahaan Kelapa Sawit (PKS).
Narasumber dalam kegiatan FGD ini berasal dari Dinas Perkebunan, Dinas Pertanahan, Dinas Lingkungan Hidup dan tim peneliti. Beberapa hal yang mencuat di dalam diskusi antara lain konflik lahan yang terjadi antara petani dan perusahaan akibat batas HGU yang tidak jelas.
Oleh karena itu perlu segera ditindaklanjuti proses inventarisasi dan pembaruan data HGU, sehingga ada kejelasan antara lahan HGU dan lahan sawit rakyat. Langkah lain yang dapat ditempuh adalah mendorong masyarakat/petani melakukan legalitas kepemilikan lahannya melalui sertifikasi lahan.
Sosialisasi STD-B yang belum maksimal juga menjadi isu penting. Masih banyak petani yang tidak mengetahui mengenai STD-B. Karena itu, perlu adanya kemitraan petani dengan perusahaan, sehingga kepengurusan STD-B bisa dilakukan secara kolektif. Begitu juga dengan legalitas lahan yang akan lebih efektif jika dilakukan secara kolektif.
Cara ini sudah diterapkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Nagan Raya yang mengandung kelompok tani atau koperasi dalam pengurusan legalitas lahan. Melalui kemitraan, perusahaan juga dapat membantu petani dalam percepatan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Jalur kemitraan memotong alur pengajuan karena langsung melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Namun, menurut Dinas Perkebunan Nagan Raya, Bapak Ardinata Ibrahim, SP jalur ini belum ada diajukan oleh PKS. Menurut Husni H Lubis dari PT. Global Sawit Semesta, jika diperlukan suatu kemitraan dalam pengurusan legalitas petani misalnya STD-B, maka mereka siap untuk membantu. Ia menambahkan, kepercayaan petani terhadap perusahaan yang ada masih sangat rendah. Keberadaan lembaga koperasi juga tidak kalah penting dalam membangun kemitraan dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Di Aceh Singkil, koperasi Produksi Sawit Sejahtera telah bermitra dengan PT. Perkebunan Lembah Bakti (PLB) dan telah memiliki 500 anggota. Legalitas kebun kelompok ini sudah berbentuk Sertifikat Hak Milik (SHM) dan sedang berproses untuk mengurus STD-B dengan berkoordinasi dengan PT. PLB.
Perwakilan APKASINDO Kota Subulussalam, Jhonson Siregar, juga menyatakan bahwa petani tidak memikirkan STD-B maupun ISPO. Petani hanya menginginkan harga TBS yang tinggi.
Hal serupa juga dikemukakan oleh ketua APKASINDO Aceh Barat Daya, Muslim Hasan, terkait ISPO yang akan diberlakukan wajib mulai 2025. Perlu adanya insentif bagi petani sawit agar mendorong mereka berlomba-lomba untuk ISPO. Jika ISPO/RSPO hanya dibebankan pada petani sendiri tanpa adanya bantuan dan dukungan baik dari pemerintah maupun PKS maka petani tidak akan mampu.
Dari FGD ini direkomendasikan beberapa langkah konkrit seperti perlunya kerjasama BPN dan dinas perkebunan terkait legalitas lahan petani sawit rakyat dan penggunaan bibit bersertifikasi untuk mendorong tercapainya tujuan bersama. Selain itu, perlu dibangun kemitraan yang antara petani melalui lembaga koperasi/kelompok tani dan perusahaan untuk mencapai sawit berkelanjutan. Harapannya dengan FGD ini dapat memberikan kontribusi positif pada perbaikan persawitan di Aceh.