Tim Medis Satgas USK untuk Respon Senyar Aceh berhasil melakukan operasi caesar perdana di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pidie Jaya dalam kondisi yang belum kondusif pasca bencana.
Dalam situasi yang masih kacau, 11 pasien obstetri datang hampir bersamaan. Lalu 10 di antaranya membutuhkan operasi caesar darurat. Sementara kala itu kondisi rumah sakit masih limbung, tenaga medis terbatas, dan alat medis harus dipakai bergantian.
Ketua Tim Medis USK dr. Zulkarnain mengatakan, dalam situasi darurat itulah USK harus bergerak cepat untuk menyelamatkan nyawa.
“Di tengah bencana, semua batasan itu hilang. Yang tersisa hanyalah kebutuhan untuk menyelamatkan nyawa,” ucap dr. Zulkarnain.
Dalam kondisi genting itu, layanan bersalin pun mengalami krisis tenaga kesehatan seperti bidan yang sangat terbatas. Zulkrnain mengungkapkan, malam itu setiap kasus pasien obstetri ini membawa resikonya masing masing.
Contohnya, ada pasien dengan distosia PK2, ketika proses persalinan tersendat dan tidak ada kemajuan meski waktu sudah berjalan panjang. Lalau ada seorang ibu dengan preeklamsia berat, tekanan darahnya tidak dapat dikontrol meski obat telah diberikan. Ada pula yang memiliki letak janin lintang, mustahil dilahirkan normal.
Bahkan, beberapa pasien memiliki riwayat operasi caesar dua kali, sehingga upaya melahirkan secara normal sama saja dengan mengundang bahaya besar. Selain itu, terdapat ibu yang mengalami ketuban pecah lebih dari 24 jam, meningkatkan risiko infeksi ibu dan bayi.
“Menunda sama dengan mempertaruhkan dua nyawa. Kami melihat langsung kondisinya. Tidak ada pilihan lain selain melakukan operasi segera, pasien dengan ketuban pecah lebih 24 jam bisa menyebabkan infeksi yang berbahaya pada ibu dan janin” ungkap Liza Muknisa, selaku PPDS Obgyn yang berada di ruang operasi malam itu.
Liza mengungkapkan, menjalankan operasi di tengah bencana bukanlah hal mudah. Walau ruang operasi RSUD Pidie Jaya masih layak digunakan, tantangan besar menghadang di banyak lini. Peralatan medis terbatas dan harus digunakan secara bergantian.
Alat-alat yang selesai digunakan harus disterilkan ulang satu per satu, dan yang bertugas melakukan sterilisasi hanya satu petugas yang masih aktif karena yang lain terdampak banjir. Komunikasi dengan dokter anestesi terganggu akibat jaringan yang tidak stabil, sehingga koordinasi harus dilakukan dengan improvisasi. Sementara itu tenaga bidan sangat minim, sehingga observasi bayi dan ibu harus dilakukan dengan kerja berlapis.
“Kami menggunakan apa yang ada. Walaupun alat harus digilir, kami tetap lanjutkan operasi. Pasien tidak bisa menunggu,” ungkap Liza.
Tangisan bayi yang biasanya menjadi suara umum kini berubah menjadi simbol harapan. Suara itu hadir di tengah generator yang bekerja keras dan di tengah tubuh tubuh tenaga medis yang tidak sempat beristirahat sejak hari pertama tiba.
Para dokter tidak menyangka bahwa dalam kondisi sekacau itu, operasi dapat berjalan selancar yang mereka upayakan. Ruang operasi yang biasanya menjadi tempat kerja klinis yang tenang kini menjadi arena darurat di mana setiap detik membawa makna berbeda.
Para dokter bergerak cepat, perawat dan tenaga anestesi bekerja dalam keheningan yang hanya dipecah oleh instruksi singkat dan dering alat monitor. Di luar ruang operasi, para suami, keluarga, dan warga terdampak duduk di lorong yang remang, mengantongi rasa cemas sekaligus berharap bahwa dokter dokter yang tengah berjuang itu mampu melawan batas batas kondisi bencana.
Tim medis B dan C dari Satgas USK untuk Respons Badai Senyar Aceh tiba di Pidie Jaya sebagai tim bantuan gelombang kedua, menggantikan tim A yang sudah sejak hari pertama berjuang tanpa henti. Mereka datang membawa tenaga, namun segera mendapati bahwa kenyataan di lapangan jauh lebih berat dari perkiraan.
IGD penuh sesak oleh pasien yang datang tanpa henti, ada yang terluka saat evakuasi, ada yang terkena sengau puing rumah, ada pula warga dengan penyakit kronis yang kambuh setelah berhari-hari berjuang membersihkan rumah mereka yang hancur. Di ruang rawat, sebagian besar kamar belum dibuka karena banyak tenaga kesehatan tidak dapat bertugas rumah mereka terendam, keluarga mereka terpisah, hidup mereka sendiri sedang porak-poranda.
“Pasien berdatangan tanpa henti. Banyak tenaga kesehatan yang belum bisa bertugas karena rumah mereka ikut terdampak. Di tengah itu semua, keputusan harus cepat. Operasi tidak bisa menunggu,” ujar dr. Zulkarnain
Di tengah segala keterbatasan itu, kolaborasi medis justru melampaui batas-batas wilayah dan institusi. Tim USK dibantu oleh dokter dokter dari Universitas Hasanuddin, termasuk seorang dokter kandungan dan dokter BPDS yang tiba tepat waktu untuk ikut menyelamatkan nyawa. Tenaga kamar operasi dari RSU Zainal Abidin juga turut bergabung, memperkuat proses tindakan di ruang operasi.
Ketika masyarakat masih menghitung kerugian dan memunguti sisa-sisa hidup, para tenaga medis memilih untuk menjadi dinding terakhir tempat kehidupan kembali bernafas. Malam itu, di sebuah rumah sakit yang dikepung bencana, manusia membuktikan bahwa bahkan dalam rahim bencana, kehidupan tetap menemukan jalan. Dan dari ruang operasi yang sederhana itu, lahirlah bukan hanya enam bayi, tetapi juga bukti bahwa harapan tak pernah benar-benar hilang ia hanya menunggu untuk diperjuangkan.