Program Studi Magister Damai dan Resolusi Konflik (MDRK) Sekolah Pascasarjana Universitas Syiah Kuala (USK) menggelar kuliah pakar bertema “Pathways to Peace: Dialogue, Justice, and the Politics of Reconciliation” pada Sabtu (16/8). Acara ini menghadirkan dua narasumber kunci: Prof. Jacques Bertrand dari University of Toronto, Kanada, dan Munawarliza, salah satu juru runding MoU Helsinki.
Kuliah pakar ini mendapat sambutan hangat dari mahasiswa baru serta perwakilan dari berbagai institusi mitra. Koordinator Prodi MDRK, Dr. Masrizal, S.Sos.I., M.A., menyampaikan bahwa kuliah perdana ini merupakan pemicu yang baik bagi mahasiswa baru.
“Kami ingin mahasiswi langsung merasakan iklim akademik internasional sejak awal. Sehari sebelumnya, mereka juga ikut dalam Konferensi Internasional ICAIOS X,” ujar Masrizal.
Dalam paparannya, Prof. Jacques Bertrand membahas tema “Autonomy, Accommodation and Conflict Resolution: Twenty Years of Peace in Aceh and Its Lessons for Asymmetrical Governance in Southeast Asia.” Ia menjelaskan keunikan kajian konflik di Aceh dan membandingkannya dengan kasus serupa di Papua, Bangsa Moro di Filipina, serta di Myanmar.
Munawarliza, yang memiliki peran sentral dalam proses perdamaian Aceh, mengapresiasi kehadiran Prodi MDRK. Ia menyebut program studi ini memiliki daya tarik besar bagi dunia, baik di Indonesia maupun global.
“Aceh memiliki pengalaman panjang yang penting untuk diceritakan kepada para pembelajar di seluruh dunia,” ungkap Munawarliza.
Ia menambahkan, bahwa pengetahuan di bidang perdamaian dan resolusi konflik adalah modal dasar untuk memperkuat kemampuan sumber daya manusia dalam bernegosiasi, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional.
Acara yang dimoderatori oleh Prof. Dr. Cut Dewi ini juga dihadiri oleh perwakilan dari mitra-mitra Prodi MDRK, termasuk Dinas Pertanahan Aceh, Kemenkumham Aceh, KKR Aceh, dan berbagai lembaga swadaya masyarakat lainnya.
“Kuliah pakar ini dapat terus menjadi kajian rutin, yang memperkuat posisi Prodi MDRK sebagai pusat unggulan dalam bidang perdamaian dan resolusi konflik, memanfaatkan pengalaman Aceh sebagai laboratorium sosial dan kebencanaan,” harap Direktur Sekolah Pascasarjana USK, Prof. Dr. Hizir Sofyan.